Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tahun 2005 sebagai tahun keuangan mikro. Penetapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa keuangan mikro dapat dijadikan sebagai sebuah piranti keuangan yang efektip untuk penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya dalam rangka Hari Pengurangan Risiko Bencana (yang biasanya diperingati setiap Rabu kedua bulan Oktober) tahun 2005 pun, mengambil tema berinvestasi melalui keuangan mikro untuk mengurangi risiko bencana. Salah satu pertimbangan dijadikannya tema ini menjadi tema Hari Pengurangan Risiko Bencana (HPRB) tahun 2005, karena berdasarkan pengalaman setiap terjadi bencana masyarakat yang paling parah terkena dampak bencana adalah masyarakat miskin dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Di sisi lain beberapa skema keuangan mikro selama ini dipandang mampu menciptakan dan mendorong berkembangnya usaha-usaha skala mikro sebagai sumber mata pencaharian masyarakat miskin dan mengurangi kemiskinan itu sendiri. Dua sasaran utama yang ingin dicapai melalui tema dimaksud adalah untuk meningkatkan kepekaan sosial masyarakat dan lembaga-lembaga keuangan tentang potensi yang mereka miliki dalam membantu mengurangi risiko bencana serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang piranti-piranti keuangan dan jejaring keselamatan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang rawan terkena bencana.
Namun sampai dengan awal tahun 2006, gerakan investasi melalui keuangan mikro terkesan adem ayem dan kurang kedengaran gemanya, bahkan kebijakan yang seharusnya menciptakan situasi yang kondusip terhadap iklim investasi dimaksud kurang tersosialisasikan. Terlepas dari keuangan mikro menjadi tema tahun 2005 serta berinvestasi melalui keuangan mikro menjadi tema HPRB, berinvestasi melalui keuangan mikro itu sendiri sebenarnya merupakan hal yang menarik karena merupakan kegiatan usaha yang layak secara ekonomi, serta diyakini oleh beberapa pihak sebagai salah satu cara yang efektip dan strategis terhadap usaha-usaha penanggulangan kemiskinan.
Untuk melakukan investasi melalui keuangan mikro, perlulah dipahami terlebih dahulu pasar keuangan mikro yang ada di dalam masyarakat utamanya masyarakat menengah kebawah, termasuk di dalamnya masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin bahkan penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT). Jika mencermati pasar keuangan pada masyarakat tersebut, akan diperoleh gambaran adanya potensi pasar keuangan mikro yang sangat besar, baik pasar tabungan maupun pasar kredit. Pada masyarakat ini terdapat unit-unit ekonomi surplus di satu sisi, dan unit-unit ekonomi minus di sisi yang lain. Unit ekonomi surplus ditandai dengan banyaknya anggota masyarakat yang mempunyai tabungan di bank, koperasi, kegiatan simpan pinjam, arisan maupun tabungan lain, yang pada umumnya dalam bentuk ternak atau perhiasan. Selain itu unit ekonomi surplus tercermin pula dengan adanya pihak-pihak perorangan dan/atau sindikasi yang melakukan usaha meminjamkan dana bagi masyarakat yang membutuhkan dengan biaya dan suku bunga yang sangat tinggi. Oleh masyarakat umum pihak-pihak ini lebih dikenal dengan nama pelepas uang atau rentenir. Sedangkan unit ekonomi minus dapat dilihat dari banyaknya masyarakat menengah kebawah yang membutuhkan dana untuk melakukan usaha-usaha produktip berskala mikro dan kecil serta kebutuhan-kebutuhan yang bersifat konsumtip.
Meskipun terdapat potensi pasar keuangan mikro yang sangat besar di dalam masyarakat, namun belum banyak pihak yang menjadikannya sebagai sebuah peluang usaha atau investasi. Hal ini disebabkan masih adanya anggapan di antara mereka bahwa pasar keuangan mikro merupakan pasar keuangan yang masih membutuhkan subsidi, sehingga berinvestasi di pasar keuangan mikro membutuhkan biaya transaki serta berisiko tinggi. Sementara itu pihak-pihak yang telah melakukan investasi di pasar keuangan mikro pada umumnya mendirikan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) formal dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), lembaga pembiayaan serta melakukan penyertaan atau kerjasama dengan BPR maupun KSP yang mereka nilai sehat. Namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang tidak mau direpotkan dengan segala ketentuan dan perijinan sehingga mengambil jalan pintas dengan melakukan usahanya secara tidak formal sebagai pelepas uang atau rentenir.
Sebaliknya, pasar keuangan mikro lebih banyak diperhatikan oleh pihak-pihak yang mempunyai komitmen serta ingin melakukan pemberdayaan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah dengan menjadikan keuangan mikro sebagai sebuah piranti keuangan untuk memperbaiki sistem keuangan serta menumbuh kembangkan usaha-usaha skala mikro dan kecil dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Pihak-pihak ini antara lain NGO/LSM luar dan dalam negeri, pemerintah daerah, serta masyarakat sendiri. Melalui peranan NGO/LSM tersebut munculah beberapa bentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berfungi sebagai lembaga intermediasi (perantara keuangan) bagi anggotanya dalam bentuk Credit Union atau Koperasi Kredit, Usaha Bersama, Kelompok Arisan, Kelompok Simpan Pinjam, Kelompok Pengusaha Mikro, BMT, Kelompok-kelompok UPPKS serta Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang berkembang secara luas di lingkungan Banjar di Provinsi Bali dan bentuk-bentuk lainnya. Tidak sedikit LKM-LKM tersebut tumbuh dan berkembang secara sehat bahkan sebagian dari mereka memperoleh legalitas formal sebagai Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Koperasi Kredit (Kopdit) yang berbadan hukum serta BPR. Namun tidak sedikit pula yang tetap bertahan dengan statusnya yang tidak formal, tetapi keberadaannya tetap mengakar dan kinerja keuangannya berkembang secara sehat pula.
Namun setelah krisis ekonomi terjadi serta usaha mikro dan kecil terbukti mempunyai daya tahan lebih baik jika dibandingkan dengan usaha-usaha skala besar, banyak pihak mulai menyadari dan menaruh perhatian yang lebih tinggi terhadap pasar keuangan mikro. Kenyataan ini mengundang lebih banyak pihak untuk melakukan investasi di pasar keuangan mikro dengan motivasi untuk mendapatkan keuntungan atau profit semata. Masyarakat menengah kebawah serta masyarakat pedesaan mulai didatangi oleh lembaga-lembaga keuangan formal. Mulai dari KSP, perbankan (BPR dan Bank Umum), serta lembaga pembiayaan (khususnya sepeda motor) untuk menawarkan produk-produk mereka. Tidaklah mengherankan jika saat ini di kota-kota kecamatan, dan pasar-pasar tradisional, terdapat sekurang-kurangnya kantor pelayanan dari berbagai KSP, perbankan dan lembaga pembiayaan yang sebelumnya merupakan sesuatu yang boleh dikatakan langka. Pasar keuangan mikro selain diramaikan oleh kehadiran berbagai jenis lembaga keuangan formal, juga tidak pernah sepi dari kiprah para pelepas uang atau rentenir. Selain petugasnya yang hilir mudik keluar masuk kampung, desa, dan pasar-pasar tradisonal, penawaran produk jasa melalui iklan di media masa cetakpun setiap hari dapat kita baca.
Sementara itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap usaha penanggulangan kemiskinan terutama lembaga keuangan dan NGO internasional semakin meyakini bahwa keuangan mikro merupakan sebuah piranti keuangan yang efektip untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan kecil, serta beberapa skemanya sangat sesuai dengan kondisi usaha dan mata pencaharian masyarakat miskin. Namun sangat disayangkan bahwa upaya untuk menggairahkan investasi melalui keuangan mikro sebagian dilakukan dengan nama atau pendekatan proyek, sehingga mengancam kelangsungan investasi itu sendiri. Sebagai contoh, Proyek Kredit Mikro (PKM) yang merupakan investasi Asian Development Bank (ADB) melalui BPR. Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang di dalamnya mengandung komponen kredit untuk masyarakat miskin, merupakan investasi Bank Dunia melalui LKM yang dikelola oleh masyarakat. Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat/KSM (PHBK) merupakan investasi perbankan nasional melalui KSM (Kelompok Simpan Pinjam dan Kelompok Pengusaha Mikro).
Selain itu, berinvestasi melalui keuangan mikro masih dijumpai kendala yang cukup serius, yakni badan hukum LKM yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Padahal LKM-LKM dimaksud cukup berpotensi sebagai lembaga perantara keuangan bagi anggota dan masyarakatnya. Sebut saja BMT, LPD, Kelompok-kelompok Simpan Pinjam dan arisan, serta Kelompok-kelompok UPPKS. Belum dimilikinya badan hukum dari LKM-LKM ini menumbuhkan keraguan bagi investor untuk melakukan investasi melalui LKM-LKM tersebut. Selama ini hanya dikenal BPR dan KSP sebagai LKM yang mempunyai badan hukum, namun berinvestasi melalui LKM inipun bukan tanpa kendala pula. Sebagai contoh NGO internasional akan mengalami kesulitan untuk melakukan investasi melalui BPR karena ketentuan-ketentuan yang ada, sedangkan berinvestasi melalui KSP banyak pihak masih meragukannya karena image koperasi di masa lalu.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk mendorong peningkatan investasi melalui keuangan mikro diperlukan beberapa faktor pendukung. Antara lain, payung hukum bagi LKM-LKM yang berkembang di masyarakat dalam bentuk sebuah Undang-undang. Konon khabarnya, RUU mengenai LKM ini telah dibahas oleh pihak-pihak yang berwenang, namun sampai saat ini masyarakat tidak banyak yang mengetahui kelanjutannya. Selain itu diperlukan pula adanya ketentuan-ketentuan yang lebih kondusip sehingga memungkinkan LKM-LKM menjalin kerjasama dengan pihak lain utamanya donor asing. Faktor pendukung lainnya adalah adanya pihak-pihak yang bersedia memberikan bantuan teknis untuk meningkatkan status dan kemampuan pengelolaan usaha LKM sehingga menjadi LKM yang berbadan hukum dengan kinerja yang sehat serta melakukan pendampingan dalam rangka menumbuh-kembangkan usaha-usaha skala mikro dan kecil. Disamping itu diperlukan pula adanya lembaga penjamin kredit mikro dan kecil. Dengan adanya beberapa faktor pendukung tersebut maka diharapkan akan lebih banyak lagi pihak yang bersedia melakukan investasi melalui keuangan mikro. Selain akan mengembangkan usaha-usaha skala mikro dan kecil, melakukan investasi melalui keuangan mikro berarti pula menyediakan piranti keuangan yang efektip untuk penanggulangan kemiskinan.
Di era otonomi daerah pemerintah kabupaten dan kota mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam rangka penciptaan dan pengembangan usaha-usaha skala mikro dan kecil bagi masyarakat miskin tersebut, pemda maupun pemkot dapat melakukan investasi melalui keuangan mikro dengan menggandeng atau bekerja sama dengan pihak lain atau swasta yang tidak sekedar mengejar keuntungan financial semata, namun mempunyai komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat miskin itu sendiri dan bersedia pula memberikan bantuan teknis. Berinvestasi melalui keuangan mikro dengan bekerjasama dengan pihak swasta ini kiranya akan menjadi model tersendiri. Jika sasarannya adalah masyarakat miskin maka pasar yang telah tersedia dan terpetakan adalah masyarakat miskin penerima Subsidi Tunai Langsung (SLT). Di masing-masing Desa dan Kelurahan terdapat puluhan bahkan ratusan keluarga penerima SLT yang dapat diorganisasikan menjadi sebuah LKM. Apabila memperoleh bantuan teknis memadai maka LKM dimaksud akan berkembang menjadi LKM yang sehat serta menjadi peluang investasi yang tidak kecil. Sebagai contoh LKM dalam bentuk Credit Union (CU) binaan Plan Internasional di DIY, Bali, Sulsel, dan Jatim. LKM dimaksud memperoleh bantuan teknis dari sebuah NGO, sehingga berkembang menjadi KSP yang berbadan hukum dengan kinerja keuangan yang sehat pula. Selanjutnya memperoleh kepercayaan pinjaman dana dari pihak lain dengan nilai milyaran Rupiah. Dengan adanya peluang yang cukup terbuka ini maka berinvestasi melalui keuangan mikro bagi masyarakat miskinpun pada kenyataannya merupakan sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan. Mengapa tidak ?
Yogyakarta, 13 Januari 2006